mari belajar bersama jadi jika ada kesalahan dalam blog ini tolong dikoreksi yahh...jangan diejek lho....^_^

Sabtu, 30 Januari 2010

Hakekat Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran matematika realistik (PMR) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika yang pertama kali dikembangkan di Belanda dan diketahui sebagai pendekatan pembelajaran yang telah berhasil di Nederlands. Menurut Gravemeijer (dalam Abang, 2007) “teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia”.
Ini berarti matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Abang, 2007).

Salah satu filosofi yang mendasari pendekatan realistik adalah bahwa matematika bukanlah satu kumpulan aturan atau sifat-sifat yang sudah lengkap yang harus siswa pelajari.

Menurut Freudenthal bahwa matematika bukan merupakan suatu subjek yang siap saji untuk siswa, melainkan suatu pelajaran yang dinamis yang dapat dipelajari dengan cara mengerjakannya (Suherman, 2003:144).

Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan secara lebih baik daripada masa lalu.

Menurut Abang (2007):

Pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau pembelajaran matematika realistik (MR).


Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah proses pembelajaran matematika yang menggunakan konteks dunia nyata sebagai titik awal pembelajaran dan mengutamakan keaktifan siswa selama proses pembelajaran.

Beberapa penelitian terdahulu dibeberapa Negara menunjukan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik, sekurang-kurangnya dapat membuat: (1) Matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak formal dan tidak terlalu abstrak; (2) Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa; (3) Menekankan belajar matematika pada “learning by doing”; (4) Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku; dan (5) Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika (Suherman, 2003:143)


Traffers (dalam Faizal, 2007) menyimpulkan “dalam pengajaran matematika realistik dapat dilakukan dua pendekatan yaitu melalui matematisasi horizontal dan vertical”. Pematematikaan horizontal adalah siswa dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sedang pematematikaan vertical adalah proses reorganisasi dalam sistem matematika itu sendiri, sebagai contoh menemukan cara singkat menemukan hubungan antara konsep-konsep dan strategi-strategi, dan kemudian menerapkan strategi-strategi itu.


Menurut Traffers (dalam Faizal, 2007) “Matematisasi horizontal adalah pemodelan situasi masalah yang dapat didekati dengan makna matematika atau dengan kata lain, menggiring dari dunia yang dirasakan kepada dunia lambang. Sepanjang pembagian tersebut kita mengamati bahwa dalam dunia kongkrit berupa dunia yang dirasakan hal tersebut bukan suatu indikasi tingkat kemutlakan tetapi sesuatu yang bersifat relative…..matematisasi vertical diarahkan pada perluasan dan bangunan keterampilan dan pengetahuan yang dirasakan didalam sistem materi pokok yang terdapat dalam dunia lambang”.


Selanjutnya De Lange (dalam Faizal, 2007) menyimpulkan “matematisasi horizontal mencakup: Proses internal siswa untuk menyelesaikan sebuah soal, membuat model matematika, melakukan translasi antara modus yng ditampilkan, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain. Sedangkan matematisasi vertical mencakup: proses menyatakan suatu hubungan dan suatu formula, pembuktian keteraturan, mendesain, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya”.


Singkatnya, matematisasi horizontal berkaitan dengan perubahan dunia nyata menjadi simbol-simbol dalam matematika, sedangkan matematisasi vertical adalah pengubahan dari simbol-simbol kesimbol matematika lainnya. Meskipun perbedaan antara dua pendekatan ini mencolok, tetapi bukan berarti dua pendekatan ini terpisah. Freudenthal menekankan bahwa dua pendekatan tersebut sama-sama bernilai. Setara dengan yang disimpulkan Van Den Heuvel-Panhuizen (dalam Abang, 2007) bahwa “kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama”.


Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan matematika realistik mempunyai karakteristik sebagai berikut:


Menggunakan konteks “dunia nyata”.
Konteks adalah linkungan keseharian siswa yang nyata. Dalam matematika tidak selalu diartikan “kongkret”, dapat juga sesuatu yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan siswa. Dalam pembelajaran matematika realistik, dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.

Menggunakan model-model (matematisasi).
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri yang pada akhirnya akan menjadi model matematika formal. Dengan kata lain, model diarahkan pada model kongkret meningkat ke abstrak atau model dari situasi nyata atau model ke arah abstrak.

Menggunakan produksi dan konstruksi siswa (konstribusi murid).
Konstrubusi yag besar pada proses pembelajaran diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dar metode informal mereka kearah yang lebih formal atau baku. Karena strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontektual merupakan sumber inspirasi dalam pengemmbangan penbelajaran lebih lanjut untuk mengkontruksi pengetahuan matematika formal.

Menggunakan interaktif (interaktivitas).
Interaksi antara siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam pembelajaran matematika realistik. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
atau terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Artinya bahwa topik-topik belajar dapat dikaitkan dan diintegrasikan sehingga memunculkan pemahaman suatu konsep atau operasi secara terpadu, karena jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan topik-topik belajar lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga topik lain. Hal ini memungkinkan efisiensi dalam mengajarkan beberapa topik pembelajaran.

Adapun prinsip-prinsip utama dalam “kurikulum” pembelajaran matematika yang disimpulkan oleh Suherman (2003:147) sebagai berikut:

(1) didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks; (2) perhatian diberikan pada pengembangan model-model, situasi, skema, dan simbol-simbol; (3) sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif; (4) interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika; dan (5) intertwining (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.


Kelima prinsip pembelajaran di atas inilah yang menjiwai setiap aktivitas pembelajaran matematika dengan pembelajaran realistik. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, berikut ini merupakan rambu-rambu penerapannya: (1) bagaimana guru menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting point pembelajaran?; (2) bagaimana guru menstimulasi, membimbing, dan memfasilitasi agar prosedur, algoritma, simbol, skema, dan model yang dibuat oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada matematika formal?; (3) bagaimana guru member atau mengarahkan kelas, kelompok, maupun individu untuk menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal atau menginterprestasikan problem kontekstual, sehingga tercipta berbagai macam pendekatan, atau metode penyelesaian, atau algoritma?; (4) bagaimana guru membuat kelas bekerja secara interaktif sehingga interaksi diantara mereka, antara siswa dengan siswa dalam kelompok kecil, dan antara anggota-anggota kelompok dalam presentasi umum, serta antara siswa dengan guru?; (5) bagaimana guru membuat jalinan antara topik dengan topik lain, antara konsep dengan konsep lain, antara satusimbol dengan simbol lain di dalam rangkaian topik matematika?


Menurut Traffers dan Goffree (dalam Suherman, 2003:149) bahwa masalah kontekstual dalam kurikulum realistik berguna untuk mengisi sejumlah fungsi:

  • Pembentukan konsep: dalam fase pertama dalam pembelajaran, para siswa diperkenangkan untuk masuk kedalam matematika secara alamiah dan termotivasi.
  • Pembentukan model: masalah-masalah kontekstual memasuki pondasi siswa untuk belajar operasi, prosedur, notasi, aturan, dan mereka mengerjakan ini dalam kaitannya dengan model-model lain yang kegunaannya sebagai pendorong penting dalam berpikir.
  • Keterterapan: masalah kontekstual menggunakan ‘realitu’ sebagai sumber dan domain untuk terapan. Serta, praktek dan latihan dari kemampuan spesifik dalam situasi terapan.
Kekuatan dan kelemahan matematika realistik
Mengungkap berbagai kekurangan sama artinya dengan mengemukakan berbagai kelemahan yang muncul dalam kehidupan nyata yang kita hadapi, tapi bukan berarti bahwa kita harus mempersalahkan pembelajaran matematika yang telah berjalan atau menganggap bahwa pembelajaran tersebut tidak memberi manfaat secara nyata kepada siswa. Namun, mengungkap kelemahan itu sebagai titik tolak untuk mengambil tindakan positif sebagai upaya mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut.

Menurut Mustaqimah (dalam Faizal, 2007) keunggulan dan kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik adalah sebagai berikut:

  • Keunggulan: (1) karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya; (2) suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika; (3) siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya; (4) memupuk kerjasama dalam kelompok; (5) melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya; (6) melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat; dan (7) pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang bekerja.
  • Kelemahan: (1) karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya; (2) membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah; (3) siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai itu, dan (5) belum ada pedoman penilaian, sehingga merasa kesulitan dalam evaluasi/memberi nilai.
Dari apa yang telah diuraikan di atas maka dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa kesituasi informal. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

untuk komentar berupa materi tambahan, tuliskan nama/almt email anda