mari belajar bersama jadi jika ada kesalahan dalam blog ini tolong dikoreksi yahh...jangan diejek lho....^_^
Tampilkan postingan dengan label matematika realistik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label matematika realistik. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Januari 2010

Hakekat Pembelajaran Konvensional

Istilah konvensional berarti apa yang sudah menjadi kebiasaan (tradisional). Burhani (…:316) dalam kamus ilmiahnya mengartikan “konvensional adalah berdasarkan kondisi dan tatacara-tatacara; menurut atau secara adat kebiasaan; secara persepakatan/persetujuan”. Pada umumnya guru-guru di sekolah dalam pembelajaran matematika menggunakan metode pembelajaran konvensional yang sering digunakan dalam pembelajaran matematika.

Metode ceramah. Metode ceramah merupakan metode mengajar yang paling banyak dipakai oleh guru karena dianggap sebagai metode mengajar yang paling mudah dilaksanakan. Karena bila materi pelajaran sudah dikuasai, guru tinggal menyajikan di depan kelas, siswa-siswa memperhatikan guru menjelaskan kemudian membuat catatan untuk materi yang dianggap penting.

Menurut Sagala (2006:201):

Ceramah adalah suatu bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan lisan dari guru kepada peserta didik…. Ceramah adalah penuturan lisan dari guru kepada peserta didik, ceramah juga sebagai kegiatan memberikan informasi dengan kata-kata…., alat utama dalam metode ceramah ini adalah berhubungan dengan siswa menggunakan bahasa bahasa lisan.

Selanjutnya Suherman (2003:201) menyimpulkan:

Ceramah merupakan suatu cara penyampaian informasi dengan lisan dari seseorang kepada sejumlah pendengar di suatu ruangan. Kegiatan berpusat pada penceramah dan komunikasi yang terjadi adalah komunikasi searah, yakni dari pembicara kepada pendengar. Penceramah mendominasi seluruh kegiatan sedangkan pendengar hanya memperhatikan dan membuat catatan seperlunya.

Adapun gambaran tentang pelaksanaan metode ceramah dalam pembelajaran matematika, sebagai berikut: guru mendominasi kegiatan pembelajaran; definisi dan rumus diberikan oleh guru; penurunan rumus atau pembuktian dalil dilakukan sendiri oleh guru; contoh-contoh soal diberikan dan dikerjakan pula sendiri oleh guru; dan langkah-langkah guru diikuti dengan teliti oleh siswa. Mereka meniru cara kerja dan cara penyelesaiannya yang dilakukan oleh guru.

Sejalan dengan itu, Sahabuddin (1999) menyimpulkan langkah-langkah metode ceramah sebagai berikut:

(a)Tujuan harus dirumuskan sekhusus mungkin, (b) Diselidiki wajar tidaknya penggunaan metode, dan (c) Bahan disusun dengan memperhatikan syarat-syaratnya, yaitu; dapat dipahami dengan jelas; menangkap perhatian siswa; memperlihatkan kepada siswa bahwa bahan yang disampaikan itu berguna dalam kehidupannya; dan menanamkan perhatian yang jelas.

Jadi peranan siswa dalam metode ceramah adalah mendengarkan dengan teliti, mencatat pokok-pokok materi yang penting yang dikemukakan oleh guru.

Metode Ekspositori. Metode ini bertolak dari pandangan, bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru/pengajar. Metode ekspositori menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran karena guru lebih aktif memberi informasi, menerangkan suatu konsep, mendemonstrasikan keterampilan dalam memperoleh pola, aturan, dalil, memberi contoh soal beserta penyelesaiannya, member kesempatan siswa untuk bertanya dan kegiatan guru lainnya dalam pembelajaran. Dalam metode ekspositori ini Syamsuddin Majmur (dalam Sagala, 2006:79) menyimpulkan “bahwa guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematik dan lengkap sehingga siswa tinggal menyimak dan mencernanya secara teratur dan tertib”.

Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan kepada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru cukup berkurang, karena guru berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan member contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Siswa tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga mengerjakan soal latihan dan bertanya jika terdapat materi yang tidak dimengerti siswa. Siswa mengerjakan soal latihan sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakan bersama dengan teman-temannya atau diminta mengerjakan di papan tulis.

Secara garis besar prosedur metode eksposiori adalah: (a) persiapan (preparatioan) yaitu guru menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematik dan rapi; (b) pertauatan (aperception) bahan terdahulu yaitu guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang telah diajarkan; (c) penyajian (presentation) terhadap bahan yang baru, yaitu guru menyajikan dengan cara memberi ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah dipersiapkan diambil dari buku, teks tertentu atau ditulis oleh guru; dan (d) evaluasi (resitation) yaitu guru bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan yang dipelajari, atau siswa yang disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri pokok-pokok yang telah dipelajari lisan atau tulisan.

Selain kedua metode konvensional di atas masih terdapat beberapa metode lain, seperti: metode Tanya-jawab, metode diskusi, metode demonstrasi, metode latihan (drill), metode pemberian tugas, dan lain-lain.

Read More..

Hakekat Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran matematika realistik (PMR) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika yang pertama kali dikembangkan di Belanda dan diketahui sebagai pendekatan pembelajaran yang telah berhasil di Nederlands. Menurut Gravemeijer (dalam Abang, 2007) “teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia”.
Ini berarti matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Abang, 2007).

Salah satu filosofi yang mendasari pendekatan realistik adalah bahwa matematika bukanlah satu kumpulan aturan atau sifat-sifat yang sudah lengkap yang harus siswa pelajari.

Menurut Freudenthal bahwa matematika bukan merupakan suatu subjek yang siap saji untuk siswa, melainkan suatu pelajaran yang dinamis yang dapat dipelajari dengan cara mengerjakannya (Suherman, 2003:144).

Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan secara lebih baik daripada masa lalu.

Menurut Abang (2007):

Pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau pembelajaran matematika realistik (MR).


Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah proses pembelajaran matematika yang menggunakan konteks dunia nyata sebagai titik awal pembelajaran dan mengutamakan keaktifan siswa selama proses pembelajaran.

Beberapa penelitian terdahulu dibeberapa Negara menunjukan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik, sekurang-kurangnya dapat membuat: (1) Matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak formal dan tidak terlalu abstrak; (2) Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa; (3) Menekankan belajar matematika pada “learning by doing”; (4) Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku; dan (5) Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika (Suherman, 2003:143)


Traffers (dalam Faizal, 2007) menyimpulkan “dalam pengajaran matematika realistik dapat dilakukan dua pendekatan yaitu melalui matematisasi horizontal dan vertical”. Pematematikaan horizontal adalah siswa dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sedang pematematikaan vertical adalah proses reorganisasi dalam sistem matematika itu sendiri, sebagai contoh menemukan cara singkat menemukan hubungan antara konsep-konsep dan strategi-strategi, dan kemudian menerapkan strategi-strategi itu.


Menurut Traffers (dalam Faizal, 2007) “Matematisasi horizontal adalah pemodelan situasi masalah yang dapat didekati dengan makna matematika atau dengan kata lain, menggiring dari dunia yang dirasakan kepada dunia lambang. Sepanjang pembagian tersebut kita mengamati bahwa dalam dunia kongkrit berupa dunia yang dirasakan hal tersebut bukan suatu indikasi tingkat kemutlakan tetapi sesuatu yang bersifat relative…..matematisasi vertical diarahkan pada perluasan dan bangunan keterampilan dan pengetahuan yang dirasakan didalam sistem materi pokok yang terdapat dalam dunia lambang”.


Selanjutnya De Lange (dalam Faizal, 2007) menyimpulkan “matematisasi horizontal mencakup: Proses internal siswa untuk menyelesaikan sebuah soal, membuat model matematika, melakukan translasi antara modus yng ditampilkan, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain. Sedangkan matematisasi vertical mencakup: proses menyatakan suatu hubungan dan suatu formula, pembuktian keteraturan, mendesain, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya”.


Singkatnya, matematisasi horizontal berkaitan dengan perubahan dunia nyata menjadi simbol-simbol dalam matematika, sedangkan matematisasi vertical adalah pengubahan dari simbol-simbol kesimbol matematika lainnya. Meskipun perbedaan antara dua pendekatan ini mencolok, tetapi bukan berarti dua pendekatan ini terpisah. Freudenthal menekankan bahwa dua pendekatan tersebut sama-sama bernilai. Setara dengan yang disimpulkan Van Den Heuvel-Panhuizen (dalam Abang, 2007) bahwa “kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama”.


Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan matematika realistik mempunyai karakteristik sebagai berikut:


Menggunakan konteks “dunia nyata”.
Konteks adalah linkungan keseharian siswa yang nyata. Dalam matematika tidak selalu diartikan “kongkret”, dapat juga sesuatu yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan siswa. Dalam pembelajaran matematika realistik, dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.

Menggunakan model-model (matematisasi).
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri yang pada akhirnya akan menjadi model matematika formal. Dengan kata lain, model diarahkan pada model kongkret meningkat ke abstrak atau model dari situasi nyata atau model ke arah abstrak.

Menggunakan produksi dan konstruksi siswa (konstribusi murid).
Konstrubusi yag besar pada proses pembelajaran diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dar metode informal mereka kearah yang lebih formal atau baku. Karena strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontektual merupakan sumber inspirasi dalam pengemmbangan penbelajaran lebih lanjut untuk mengkontruksi pengetahuan matematika formal.

Menggunakan interaktif (interaktivitas).
Interaksi antara siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam pembelajaran matematika realistik. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
atau terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Artinya bahwa topik-topik belajar dapat dikaitkan dan diintegrasikan sehingga memunculkan pemahaman suatu konsep atau operasi secara terpadu, karena jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan topik-topik belajar lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga topik lain. Hal ini memungkinkan efisiensi dalam mengajarkan beberapa topik pembelajaran.

Adapun prinsip-prinsip utama dalam “kurikulum” pembelajaran matematika yang disimpulkan oleh Suherman (2003:147) sebagai berikut:

(1) didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks; (2) perhatian diberikan pada pengembangan model-model, situasi, skema, dan simbol-simbol; (3) sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif; (4) interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika; dan (5) intertwining (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.


Kelima prinsip pembelajaran di atas inilah yang menjiwai setiap aktivitas pembelajaran matematika dengan pembelajaran realistik. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, berikut ini merupakan rambu-rambu penerapannya: (1) bagaimana guru menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting point pembelajaran?; (2) bagaimana guru menstimulasi, membimbing, dan memfasilitasi agar prosedur, algoritma, simbol, skema, dan model yang dibuat oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada matematika formal?; (3) bagaimana guru member atau mengarahkan kelas, kelompok, maupun individu untuk menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal atau menginterprestasikan problem kontekstual, sehingga tercipta berbagai macam pendekatan, atau metode penyelesaian, atau algoritma?; (4) bagaimana guru membuat kelas bekerja secara interaktif sehingga interaksi diantara mereka, antara siswa dengan siswa dalam kelompok kecil, dan antara anggota-anggota kelompok dalam presentasi umum, serta antara siswa dengan guru?; (5) bagaimana guru membuat jalinan antara topik dengan topik lain, antara konsep dengan konsep lain, antara satusimbol dengan simbol lain di dalam rangkaian topik matematika?


Menurut Traffers dan Goffree (dalam Suherman, 2003:149) bahwa masalah kontekstual dalam kurikulum realistik berguna untuk mengisi sejumlah fungsi:

  • Pembentukan konsep: dalam fase pertama dalam pembelajaran, para siswa diperkenangkan untuk masuk kedalam matematika secara alamiah dan termotivasi.
  • Pembentukan model: masalah-masalah kontekstual memasuki pondasi siswa untuk belajar operasi, prosedur, notasi, aturan, dan mereka mengerjakan ini dalam kaitannya dengan model-model lain yang kegunaannya sebagai pendorong penting dalam berpikir.
  • Keterterapan: masalah kontekstual menggunakan ‘realitu’ sebagai sumber dan domain untuk terapan. Serta, praktek dan latihan dari kemampuan spesifik dalam situasi terapan.
Kekuatan dan kelemahan matematika realistik
Mengungkap berbagai kekurangan sama artinya dengan mengemukakan berbagai kelemahan yang muncul dalam kehidupan nyata yang kita hadapi, tapi bukan berarti bahwa kita harus mempersalahkan pembelajaran matematika yang telah berjalan atau menganggap bahwa pembelajaran tersebut tidak memberi manfaat secara nyata kepada siswa. Namun, mengungkap kelemahan itu sebagai titik tolak untuk mengambil tindakan positif sebagai upaya mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut.

Menurut Mustaqimah (dalam Faizal, 2007) keunggulan dan kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik adalah sebagai berikut:

  • Keunggulan: (1) karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya; (2) suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika; (3) siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya; (4) memupuk kerjasama dalam kelompok; (5) melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya; (6) melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat; dan (7) pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang bekerja.
  • Kelemahan: (1) karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya; (2) membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah; (3) siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai itu, dan (5) belum ada pedoman penilaian, sehingga merasa kesulitan dalam evaluasi/memberi nilai.
Dari apa yang telah diuraikan di atas maka dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa kesituasi informal. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
Read More..

Kamis, 28 Januari 2010

hakekat matematika dan pembelajaran matematika

a. Hakekat matematika

Matematika mula-mula timbul karena adanya kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari dan unutk mempelajari alam, terutama dalam memperhitungkan sesuatu. Seperti yang disimpulkan Kline (dalam Suherman, 2003:17) bahwa “matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam”.

Dari kebutuhan ini diperoleh konsep matematika yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan membentuk konsep baru yang lebih kompleks. Sejalan dengan yang disimpulkan James dan James (dalam Suherman, 2003:16) bahwa “matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan yang banyak yang terbagi kedalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri”.

Selanjutnya menurut Johnson dan Myklebust (dalam Abdurrahman, 2003:252) “matematika adalah bahasa yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir”. Lerner (dalam Abdurrahman, 2003:252) menyimpulkan bahwa “matematika disamping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas”. Dan Kline (dalam Abdurrahman, 2003:252) juga menyimpulkan bahwa matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif”.

Pendapat lain disimpulkan Reys, dkk (dalam Suherman, 2003:17) bahwa “matematika adalah tentang pola dan hubungan, suatu jalaln atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat”. Seperti halnya Hudojo (2003:40) menyimpulkan bahwa “matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir”. Dan Tinggih (dalam Hudojo, 2003:40) menyimpulkan “matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta operasi-operasinya, melainkan juga unsure ruang sebagai sasarannya. Namun penunjukan kuantitas seperti itu belum memenuhi sasaran matematika yang lain, yaitu yang ditujukan kepada hubungan pola, bentuk, dan struktur”.

Karena adanya pengetahuan dan pengalaman masing-masing yang berbeda maka muncul berbagai pendapat tentang pengertian matematika tersebut.

Ada yang mengatakan bahwa matematika itu bahasa simbol; matematika adalah bahasa numerik; matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional; matematika adalah metode berpikir logis; matematika adalah sarana berpikir; matematika adalah logika pada masa dewasa; matematika adalah ratunya ilmu dan sekaligus sebagai pelayannya; matematika adalah sains mengenai kuantitas dan besaran; matematika adalah suatu sains yang bekerja menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu; matematika adalah sains formal yang murni; matematika adalah sains yang memanipulasi simbol; matematika adalah tentang bilangan dan ruang; matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk, dan struktur; matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif; matematika adalah aktifitas manusia (Suherman, 2003:15).

Jadi dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa matematika disamping sebagai ilmu yang terstruktur yang berisikan simbol-simbol atau hal-hal yang abstrak dan deduktif, besaran dan konsep-konsep tetapi juga matematika adalah bahasa simbolis sekaligus bahasa universal yang dapat membantu manusia berpikir, memahami, dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematika juga merupakan sarana berpikir yang membantu manusia untuk berpikir logis, dan berpikir kritis dalam menghadapi suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Hakekat pembelajaran matematika

Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahasa acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit.

Belajar dapat dipahami sebagai berusaha atau berlatih supaya mendapat suatu pengetahuan dan kepandaian. Dalam implementasinya, belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan ajar” (Sagala, 2006:12).

Belajar disimpulkan terjadi, bila tampak tanda-tanda bahwa perilaku manusia barubah sebagai akibat terjadinya proses pembelajaran. “Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau siswa” (Sagala, 2006:61).

Konsep pembelajaran menurut seorang ahli adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi yang akan diajarkan dalam pembelajaran. Sebelumnya telah dijelaskan mengenai hakekat matematika, “bahwa hakekat matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis”(Hudojo, 2003:72). Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakekat belajar matematika adalah suatu aktivitas mental yang tinggi untuk memahami arti dari struktur-struktur, konsep-konsep kemudian menerapkannya dalam situasi nyata sehingga terjadi perubahan tingkah laku dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Kegiatan pembelajaran matematika berorientasi pada upaya menerapkan cara berpikir matematik. Sejalan dengan itu, Dienes (dalam Hudojo, 2003:83) menyimpulkan bahwa “belajar matematika melibatkan suatu struktur hirarki dari konsep-konsep tingkat lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya”.

Jadi pembelajaran matematika merupakan alat dan proses untuk membentuk pola pikir siswa dalam pemahaman suatu pengertian/konsep maupun penalaran suatu hubungan dari pengertian-pengertian itu. Selain itu, siswa dilatih untuk membuat terkaan, perkiraan, kecenderungan berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh khusus. Dan melalui pembelajarn matematika diharapkan agar siswa memiliki kemampuan berpikir secara logis, rasional, kritis, cermat, efektif dan efisien.

Read More..